Friday, June 14, 2013

INFO KURSUS


Hai, Gabung yuk !!!





Kontak Person :
0812-8847-9260 (Dady), pin BB. 33176ED1.


Volunteerism is at the Heart of One CSO’s Strategy to Promote MSM Health Seeking Behaviors


“Karya Bhakti’s goal is to expand the services offered at the Drop-In Center and we are confident we can do this with private donations.”  Cecep Junaedi, Director, Karya Bhakti 

USAID-sponsored Financial Management Training to LPA Karya Bhakti Staff

LPA Karya Bhakti is a MARPs-led CSO working with men who have sex with men (MSM) in East and North Jakarta. Effective community mobilization, they believe, is one of the biggest challenges in the MSM HIV response. Findings in the 2007 and 2011 Integrated Biological and Behavioral Assessment Reports for Jakarta show moderate to high knowledge among MSM of preventive measures against sexual transmission of HIV, and yet consistent condom use remains low. 

The USAID Scaling Up for Most-At-Risk (SUM) Program is assisting Karya Bhakti to strengthen its organizational effectiveness and community mobilization. A small grant from SUM is keeping Karya
Bhakti’s MSM drop-in center functioning and assisting with getting organizational improvements in place. One breakthrough came with Titus, a University of Mississippi graduate and hotel event planner.
Titus is a volunteer at the drop-in center and is helping Karya Bhakti develop a fundraising strategy so the CSO can expand drop-in center services.

As they develop their new strategic plan with SUM assistance, Karya Bhakti leaders and staff are conflicted about how best to approach community mobilization – to reach greater numbers of MSM,
especially “hidden” MSM, with the result that MSM reached do adopt healthy lifestyles, consistent condom use, and other health seeking behaviors. The challenge, they say, is how to get these results and also build a sustainable program over the long-term. They’ve determined they need to be bolder in their thinking and test alternative approaches to reach MSM.

INDONESIA

Volunteerism is at heart of one alternative Karya Bhakti is now testing. With the goal to complement behavior change interventions (BCI), Karya Bhakti is intensifying efforts to create and multiply MSM support groups led by voluntary leaders, natural leaders who others listen to and look to, and not rely solely on paid CSO field workers. MSM leaders in the community like the approach and support it because they say it helps reinforce BCI. As voluntary leaders have stepped forward, they are asked to identify five other MSM with shared interests, such as hobbies, religious studies, and entertainment, and to inspire healthy behaviors in the daily lives of group members. Cecep Junaedi, Karya Bhakti Director, says developing the new strategic action plan is enabling them to think beyond the day-to-day technical aspects of their field work to programmatic approaches they think will be sustainable and have impact.

U.S. Agency for International Development

Thursday, June 6, 2013

PENGENDALIAN PENDERITA HIV/AIDS DENGAN PENGOBATAN ARV

Jakarta, 30 Mei  2013
HIV/AIDS merupakan tantangan terbesar dalam mencapai target MDGs. Penularan infeksi baru HIV masih terjadi dan pengidap AIDS masih ditemukan, dalam hal ini upaya pencegahan dan deteksi dini HIV harus terus digalakkan. Sampai Desember  2012 secara kumulatif penderita pengidap HIV berjumlah 98.390 orang dan AIDS tercatat berjumlah 42.887 orang.
Data penularan HIV sampai Desember 2012 menunjukkan penularan melalui hubungan heterosex yang berisiko sebesar 58,7%, penggunaan napza suntik 17,5% dan penularan masa perinatal  2,7%.
Demikian disampaikan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama. SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE pada acara Pertemuan Monitoring dan Evaluasi RS Rujukan Antiretroviral (ARV) Regional Barat pada tanggal 29 Mei 2013 di Jakarta.
Dari hasil modeling tahun 2012 diketahui tren peningkatan infeksi baru HIV kedepan terjadi pada 3 kelompok utama yaitu lelaki seks dengan lelaki (LSL), kalangan ibu rumah tangga dan lelaki beresiko tinggi (lelaki pembeli seks), sedangkan peningkatan infeksi baru pada populasi kunci seperti (Wanita Pekerja Seksual, Penasun, dan trans gender) tidak terjadi peningkatan yang terlalu signifikan. 
Tantangan tersebut menuntut respon cepat  untuk dapat segera melakukan upaya agar dapat  dilakukan dari hulu sampai hilir agar epidemi ini tidak berkembang kearah yang tidak baik.
Upaya di hulu dapat dilakukan dengan memberi pembekalan yang cukup kepada bangsa mengenai pendidikan moral, pendidikan agama, pendidikan mengenai kesehatan reproduksi serta pengetahuan bahaya penggunaan Napza, karena hal-hal inilah yang menjadi pintu masuk dari pertumbuhan epidemi HIV/AIDS serta pencegahan pada populasi yang masih melakukan perilaku berisiko.  Upaya ini dilakukan dengan memperhatikan jalur transmisi seperti transmisi seksual, transmisi melalui jarum suntik pada pengguna napza, dan transmisi melalui penularan dari Ibu ke anak yang dikandung. Pencegahan Melalui Transmisi Seksual (PMTS) dilakukan dengan penggunaan kondom secara konsisten serta pengobatan penyakit infeksi menular seksual (IMS).  Upaya mengurangi risiko transmisi penularan jarum suntik  dilakukan dengan  program LASS (Layanan Alat Suntik Steril) dan terapi rumatan metadon.
Tahun 2012 diluncurkan kegiatan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) yaitu layanan pada semua fasilitas layanan kesehatan, sampai pada fasilitas layanan kesehatan primer, memberikan layanan HIV-AIDS sesuai dengan mekanisme rujukan,  sehingga dapat terjangkau masyarakat  dengan mudah. Keterlibatan komunitas, kelompok penggagas, dan Kelompok Dukungan Sebaya (KBS) didalam layanan kesehatan merupakan suatu elemen yang sangat penting. Selain itu, peran Komisi Penanggulangan AIDS merupakan motor utama penggerak dalam hubungan antara layanan dan komunitas serta sektor lain yang terkait yang diharapkan dapat semakin meningkatkan cakupan LKB.

Kementerian Kesehatan merespon tantangan  dengan menekankan desentralisasi, integrasi, dan penyederhanaan penyediaan ARV yang sejalan dengan strategi WHO dan penguatan kemitraan dengan masyarakat sipil guna meningkatkan kualitas pencegahan HIV dan layanan perawatan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan HIV positif yang mendapatkan ARV sangat kecil kemungkinannya untuk menularkan HIV  dibandingkan mereka yang tidak diobati.  ARV tidak hanya menguntungkan bagi orang yang sudah diobati tapi juga menurunkan beban epidemi di masyarakat dengan memutuskan penularan HIV secara cepat.
Pada kesempatan itu pula Dirjen P2PL meminta agar strategi implementasi lebih ditingkatkan untuk cakupan tes HIV dan inisiasi ARV sedini mungkin dan  cara melakukan normalisasi tes HIV di masyarakat, agar tes HIV sejajar dengan tes laboratorium lainnya dan dapat mengurangi stigma dan diskriminasi.
Dalam upaya perluasan tes HIV ditawarkan dan dilakukan pada semua orang dengan penyakit IMS, Ibu hamil, pasangan dari HIV positif,  penderita koinfeksi TB-HIV, penderita hepatitis B dan C. Diharapkan pada tahun 2014 bisa mencapai 4 juta orang yang melakukan tes HIV.
Untuk meningkatkan cakupan terapi ARV dan retensi, penyediaan ARV memberikan kemudahan dan kenyamanan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Mulai tahun 2013 akan tersedia bentuk kombinasi tetap yaitu Triple Fixed Dose Combination (FDC) yang terdiri atas kombinasi Tenofovir, Emtricitabine, dan Evafirens. Penggunaan Triple FDC memiliki 3 keunggulan yaitu kenyamanan penggunaan, rendahnya efek samping dan pencegahan terjadinya resistensi.
Kemenkes mendukung adanya ARV melalui pengelolaan logistik yang baik. Saat ini  masih  mendapat laporan bahwa ARV jenis tertentu mengalami stock out, Dirjen P2PL mengimbau petugas agar dapat saling memonitor ketersediaan ARV memperhatikan secara cermat sisa obat yang tersedia termasuk memperhitungkan siklus pengiriman, ketersediaan tenaga, dan pembiayaan penyediaan berbagai sumber daya. Hal ini akan menjadi sangat penting terlebih pada saat ARV akan di desentralisasikan ke pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota sesuai kebijakan Kemkes terkait one gate policy untuk pengelolaan obat. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia dapat mewujudkan Getting to Three Zeros, jelas Prof Thandra.


Berita ini diunduh dari website Kementerian Kesehatan RI