Jakarta, 30 Mei 2013
HIV/AIDS merupakan tantangan terbesar dalam mencapai target
MDGs. Penularan infeksi baru HIV masih terjadi dan pengidap AIDS masih
ditemukan, dalam hal ini upaya pencegahan dan deteksi dini HIV harus terus
digalakkan. Sampai Desember 2012 secara
kumulatif penderita pengidap HIV berjumlah 98.390 orang dan AIDS tercatat
berjumlah 42.887 orang.
Data penularan HIV sampai Desember 2012 menunjukkan
penularan melalui hubungan heterosex yang berisiko sebesar 58,7%, penggunaan
napza suntik 17,5% dan penularan masa perinatal
2,7%.
Demikian disampaikan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama. SpP(K), MARS,
DTM&H, DTCE pada acara Pertemuan Monitoring dan Evaluasi RS Rujukan
Antiretroviral (ARV) Regional Barat pada tanggal 29 Mei 2013 di Jakarta.
Dari hasil modeling tahun 2012 diketahui tren peningkatan
infeksi baru HIV kedepan terjadi pada 3 kelompok utama yaitu lelaki seks dengan
lelaki (LSL), kalangan ibu rumah tangga dan lelaki beresiko tinggi (lelaki
pembeli seks), sedangkan peningkatan infeksi baru pada populasi kunci seperti
(Wanita Pekerja Seksual, Penasun, dan trans gender) tidak terjadi peningkatan
yang terlalu signifikan.
Tantangan tersebut menuntut respon cepat untuk dapat segera melakukan upaya agar
dapat dilakukan dari hulu sampai hilir
agar epidemi ini tidak berkembang kearah yang tidak baik.
Upaya di hulu dapat dilakukan dengan memberi pembekalan yang
cukup kepada bangsa mengenai pendidikan moral, pendidikan agama, pendidikan
mengenai kesehatan reproduksi serta pengetahuan bahaya penggunaan Napza, karena
hal-hal inilah yang menjadi pintu masuk dari pertumbuhan epidemi HIV/AIDS serta
pencegahan pada populasi yang masih melakukan perilaku berisiko. Upaya ini dilakukan dengan memperhatikan
jalur transmisi seperti transmisi seksual, transmisi melalui jarum suntik pada
pengguna napza, dan transmisi melalui penularan dari Ibu ke anak yang
dikandung. Pencegahan Melalui Transmisi Seksual (PMTS) dilakukan dengan
penggunaan kondom secara konsisten serta pengobatan penyakit infeksi menular
seksual (IMS). Upaya mengurangi risiko
transmisi penularan jarum suntik
dilakukan dengan program LASS
(Layanan Alat Suntik Steril) dan terapi rumatan metadon.
Tahun 2012 diluncurkan kegiatan Layanan Komprehensif
Berkesinambungan (LKB) yaitu layanan pada semua fasilitas layanan kesehatan,
sampai pada fasilitas layanan kesehatan primer, memberikan layanan HIV-AIDS
sesuai dengan mekanisme rujukan,
sehingga dapat terjangkau masyarakat
dengan mudah. Keterlibatan komunitas, kelompok penggagas, dan Kelompok
Dukungan Sebaya (KBS) didalam layanan kesehatan merupakan suatu elemen yang
sangat penting. Selain itu, peran Komisi Penanggulangan AIDS merupakan motor
utama penggerak dalam hubungan antara layanan dan komunitas serta sektor lain
yang terkait yang diharapkan dapat semakin meningkatkan cakupan LKB.
Kementerian Kesehatan merespon tantangan dengan menekankan desentralisasi, integrasi,
dan penyederhanaan penyediaan ARV yang sejalan dengan strategi WHO dan penguatan
kemitraan dengan masyarakat sipil guna meningkatkan kualitas pencegahan HIV dan
layanan perawatan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan HIV
positif yang mendapatkan ARV sangat kecil kemungkinannya untuk menularkan HIV dibandingkan mereka yang tidak diobati. ARV tidak hanya menguntungkan bagi orang yang
sudah diobati tapi juga menurunkan beban epidemi di masyarakat dengan
memutuskan penularan HIV secara cepat.
Pada kesempatan itu pula Dirjen P2PL meminta agar strategi
implementasi lebih ditingkatkan untuk cakupan tes HIV dan inisiasi ARV sedini
mungkin dan cara melakukan normalisasi
tes HIV di masyarakat, agar tes HIV sejajar dengan tes laboratorium lainnya dan
dapat mengurangi stigma dan diskriminasi.
Dalam upaya perluasan tes HIV ditawarkan dan dilakukan pada
semua orang dengan penyakit IMS, Ibu hamil, pasangan dari HIV positif, penderita koinfeksi TB-HIV, penderita
hepatitis B dan C. Diharapkan pada tahun 2014 bisa mencapai 4 juta orang yang
melakukan tes HIV.
Untuk meningkatkan cakupan terapi ARV dan retensi,
penyediaan ARV memberikan kemudahan dan kenyamanan Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA). Mulai tahun 2013 akan tersedia bentuk kombinasi tetap yaitu Triple
Fixed Dose Combination (FDC) yang terdiri atas kombinasi Tenofovir, Emtricitabine,
dan Evafirens. Penggunaan Triple FDC memiliki 3 keunggulan yaitu kenyamanan
penggunaan, rendahnya efek samping dan pencegahan terjadinya resistensi.
Kemenkes mendukung adanya ARV melalui pengelolaan logistik
yang baik. Saat ini masih mendapat laporan bahwa ARV jenis tertentu
mengalami stock out, Dirjen P2PL mengimbau petugas agar dapat saling memonitor
ketersediaan ARV memperhatikan secara cermat sisa obat yang tersedia termasuk
memperhitungkan siklus pengiriman, ketersediaan tenaga, dan pembiayaan
penyediaan berbagai sumber daya. Hal ini akan menjadi sangat penting terlebih
pada saat ARV akan di desentralisasikan ke pemerintah daerah melalui Dinas
Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota sesuai kebijakan Kemkes terkait one gate
policy untuk pengelolaan obat. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia dapat
mewujudkan Getting to Three Zeros, jelas Prof Thandra.